Golongan Yang Selamat Fanatik Kepada Al-Quran dan Hadits
Bersama Pemateri :
Ustadz Abdullah Taslim
Golongan Yang Selamat Fanatik Kepada Al-Qur’an dan Hadits adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Minhaj Al-Firqah an-Najiyah wa ath-Tha’ifah Al-Manshurah. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abdullah Taslim, M.A. pada Sabtu, 7 Rabi’ul Awal 1445 H / 23 September 2023 M.
Golongan Yang Selamat Fanatik Kepada Al-Qur’an dan Hadits
Di pertemuan yang lalu, telah kita nukilkan beberapa pernyataan dari para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mulai dari Imam Abdullah Ibnu Mubarak Al-Marwazi, Imam Bukhari, Imam Ahmad, dan yang lainnya. Semua mereka sepakat bahwa yang dimaksud dengan Ath-Tha’ifah Al-Manshurah adalah Ahlul Hadits. Yaitu orang-orang yang selalu setia mempelajari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka selalu belajar dan mengkasi ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdasarkan pemahaman para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in.
Wajar kalau diartikan demikian, karena mereka itulah yang paling sesuai dengan makna sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika menyebutkan tentang golongan yang selamat dari perpecahan, yaitu:
هُمْ مَنْ كَانَ عَلَى مِثْلِ مَا أَنَا عَلَيْهِ اليَوْمَ وَأَصْحابِي
“Mereka adalah orang-orang yang mengikuti petunjukku dan petunjuk para sahabatku Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhum Ajma’in.”
Karena siapa yang akan mempelajari dan membahas hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, membedakan mana hadits yang shahih dan mana hadits yang tidak shahih, siapa yang akan mengkaji atsar-atsar para sahabat ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian ketika menjelaskan makna hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Tentu mereka adalah orang-orang yang mengkhususkan diri, yang selalu disibukkan dirinya dengan mempelajari kitab-kitab hadits yang memuat hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan nukilan dari pernyataan para sahabat Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhum Ajma’in. Mereka adalah orang-orang yang paling paham tentang bagaimana ibadah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat, bagaimana keyakinan mereka dalam agama, bagaimana akhlak mereka, bagaimana cara dakwah mereka, bagaimana cara mereka beramar ma’ruf dan nahi munkar. Tentu mereka adalah orang-orang yang paling paham dan paling kuat dalam melaksanakan semua ini.
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu Rahimahullah Ta’ala berkata, Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala, imam besar Ahlul Hadits yang terkenal, berkata kepada murid utamanya, Al-Imam Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Hambal Asy-Syaibani Rahimahullah:
أنتم أعلم بالحديث مني ، فإذا جاءكم الحديث صحيحا فأعلموني به حتى أذهب إليه سواء كان حجازيا أم كوفيا أم بصريا
“Engkau lebih mengetahui tentang hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dibandingkan aku. Maka jika datang kepadamu sebuah hadits yang shahih, maka sampaikanlah kepadaku, sehingga aku akan berpendapat dengannya, baik hadits itu diriwayatkan dari penduduk Hijaz (Mekah dan Madinah), atau dari Kufah ataupun dari Bashrah.”
Ini adalah sikap tawadhu seorang guru kepada muridnya, meskipun mereka adalah sama-sama orang yang berilmu, orang yang menjadi panutan dalam masalah hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Ingat bahwa hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada yang shahih dan ada yang tidak shahih. Maka kita harus memastikan hadits itu adalah hadits yang shahih baru kita berpegang teguh dengannya. Jangan ikut menyebarkan sebuah hadits yang belum kita ketahui shahih atau tidaknya, karena dikhawatirkan termasuk orang yang ikut menyebarkan hadits yang tidak benar penisbatannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dikhawatirkan masuk ke dalam keumuman makna sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
مَن حَدَّثَ بحديثٍ، وهو يَرى أنَّه كَذِبٌ؛ فهو أحَدُ الكاذِبَيْنِ
“Barangsiapa yang meriwayatkan sebuah hadits dariku dalam keadaan dia memandang hadits itu adalah dusta, maka dia adalah salah satu dari dua orang pendusta (pendusta pertama yang memalsukan hadits tersebut, kemudian yang ikut menyebarkannya).”
Perkataan Imam Syafi’i di atas merupakan contoh pernyataan seorang Ahlul Hadits: dia mengatakan, “Kalau ada hadits yang shahih, sampaikan kepadaku sehingga aku akan berpendapat dengannya.” Ini sama dengan makna ucapan Imam Syafi’i yang lain yang mengatakan:
كل حديث عن النبي صلى الله عليه وسلم فهو قولي ، وإنْ لم تسمعوه مني
“Semua hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, itulah pendapatku, meskipun engkau belum pernah mendengarkannya dariku.”
Maksudnya di sini beliau membawakan pernyataan Imam Syafi’i ini untuk menunjukkan bahwa Ahlul Hadits adalah orang yang tidak fanatik kepada ucapan manusia selain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan inilah contoh pernyataan dari para Imam Ahlul Hadits Ahlus Sunnah; mereka yang mengatakan: “Jika ada hadits yang shahih, maka itulah mazhabku, itulah pendapatku.”
Ahlul Hadits adalah orang-orang yang selalu mempelajari hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpulkan kita ke dalam golongan mereka pada hari kiamat nanti. Mereka tidak berfanatik buta kepada pendapat seorang tertentu, bagaimanapun tinggi dan mulia kedudukannya selain ucapan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Pernyataan ini bukan berarti mengatakan bahwa kita tidak perlu membaca keterangan para ulama, sama sekali tidak demikian. Tidak boleh bersikap tafrith (berlebih-lebihan) dalam memuliakan dan ifrath (kurang) dalam menghargai para ulama. Kita menempatkan mereka pada tempatnya. Kalau ucapan mereka sesuai dengan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka kita berpegang teguh dengannya. Kalau tidak sesuai dengan dalil, maka kita ambil pendapat ulama lain yang sesuai dengan dalil.
Sudah pernah kita jelaskan seperti yang Syaikh Al-Albani Rahimahullahu Ta’ala jelaskan tentang kedudukan dalil dan pendapat para ulama yang menjelaskan dalil tersebut. Dalil itu adalah tujuan setiap muslim, setiap orang yang beriman, mereka wajib untuk mengenal hukum Allah yang disebutkan dalam dalil (ayat-ayat Al-Qur’an, dan hadits-hadits yang shahih) dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Untuk mencapai tujuan ini, kita butuh sarana. Karena ilmu kita tentang ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits yang Shahih terbatas, maka kita butuh sarana. Yaitu dengan membaca ucapan para ulama. Jadi, kedudukan ucapan para ulama adalah sebagai penjelas dalil.
Oleh karena itu, ini tidak boleh kita balik. Misalnya kita jadikan ucapan ulama sebagai tujuan, sedangkan dalil dicari untuk mendukung pendapat tersebut. Inilah fanatik buta namanya. Makanya, ketika ucapan dari penjelasan para ulama menjelaskan makna dalil yang shahih, berpendapat dengan dalil yang shahih, ini yang kita ikuti. Tetapi ketika tidak sesuai dengan dalil yang shahih atau apalagi tidak ada dalilnya, maka tidak boleh kita mengikutinya.
Inilah sikap yang benar dalam menempatkan pendapat para ulama dan menempatkan kedudukan dalil dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang shahih.
Berbeda dengan yang selain mereka, yaitu orang-orang yang tidak menisbatkan diri kepada jalannya Ahlus Sunnah dan tidak mengamalkannya. Karena mereka akan berfanatik kepada pendapat dari pendapat para imam-imam atau tokoh-tokoh mereka, padahal para imam mereka melarang dari perbuatan tersebut.
Kita semua tahu bahwa ada petunjuk dan keberkahan mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Orang yang menggelutinya bukan hanya sekedar mendapatkan ilmu, tapi dia juga akan mendapatkan taufik untuk bersikap benar dalam perselisihan pendapat, dimudahkan untuk hidayah, mengetahui yang benar, selalu fanatik kepada dalil (bukan kepada pendapat). Karena ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan kedudukan Al-Qur’an:
فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم
“Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah (Al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
Akan beda hasilnya dalam menjadi sebab turunnya petunjuk Allah dalam membimbing sikap dan langkah seorang hamba, ketika dia selalu membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan merujuk kepada tafsir para ulama Salaf, para Sahabat Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhu Ajma’in, ketika dia membaca langsung hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian membaca keterangan maknanya dari penjelasan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Akan berbeda jika misalnya dia membaca ucapan manusia biasa dan menyibukkan dirinya dengan itu. Ucapan manusia mungkin salah dan mungkin benar.
Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..
Download MP3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/53393-golongan-yang-selamat-fanatik-kepada-al-quran-dan-hadits/